Belajar dari Apple Inc.
>> Oleh : Giyanto << Ketika anda memulai berbisnis tentu pertama kali model bisnis seperti apa yang akan anda jalankan. Jual beli saja, memproduksi saja, atau kedua-duanya. Seorang profesional atau setidak-tidaknya sudah berpengalaman dalam bisnis, membuat model bisnis adalah suatau keharusan, meskipun model bisnis sudah banyak dibuat oleh para ahli.
Jika model bisnis sudah ditentukan, misalnya dengan memproduksi suatu barang. Kemudian ditentukan segmentasi pasarnya. Misalnya segmentasi berdasarkan demografi, untuk kelas bawah, tengah, kelas atas, atau bersifat heterogen mulai dari kelas bawah sampai dengan kelas atas. Disini letak titik kritis didalam merencanakan membuat suatu produk barang maupun jasa.
Seringkali kita tergoda untuk bermain disegala segmen (heterogen) karena pasarnya begitu luas seolah nyaris tanpa batas. Dapat memenuhi semua permintaan dari pelanggan, dengan harapan bisa menjual lebih banyak dan menghasilkan laba lebih besar. Kita cermati lebih detil :
Pertama, membuat produk atau jasa untuk kelas bawah. Pasarnya cukup besar, dimana-mana pasar terbuka dan bisa di masuki kapan saja. Permintaan yang besar tentu akan menghasilkan penjualan yang besar pula. Pada segmen ini tidak memerlukan produk dengan kualitas yang tinggi. Asal produknya bisa dipakai, konsumen dapat menerimanya, meskipun produk tersebut tidak tahan lama. Yang perlu berhati-hati pada segmen ini adalah sulitnya menghasilkan pelanggan yang loyal dikarenakan pada segmen ini sangat rentan terhadap perusabahan harga. Begitu kompetitor menjual dengan sama atau lebih rendah sedikit saja, mereka akan berpindah produk.
Kedua, membuat produk untuk kelas menengah, pasarnya juga cukup besar. Pada segmen ini konsumen sudah mulai memilih-milih produk yang sesuai keinginannya. Meskipun dengan anggaran yang terbatas. Pada segmen ini konsumen mulai berpikir pada merk yang mereka sudah kenal. Jika membandingkan harga pada kelas yang sama, biasanya mereka akan memilih dari merk yang sudah dikenalnya. Terutama produk dari negara-negara yang diketahui secara umum memiliki kualitas bagus.
Ketiga, segmen high class. Pasarnya terbatas bagi kalangan orang kaya yang tidak pernah memikirkan nilai uangnya didalam memilih barang. Mereka lebih memikirkan brand yang mampu membuat status dirinya lebih tinggi karena brand yang dipakainya dikenal banyak orang sebagai brand ternama. Membeli produk premium tidak pernah memikirkan fungsi dari produk itu, tetapi lebih memikirkan life style yang melekat dari produk itu sendiri sehingga diakui dalam komonitas atau lingkungannya.
Sebagai pebinis kita punya pilihan, membuat ketiga macam produk (pasar heterogen), sehingga bisa melayani pada semua segmen atau pada salah satu segmen saja (pasar homogen). Yang pertama menjadi pertimbangan adalah produk yang akan kita pasarkan berasal dari divergensi atau pencabangan dari produk yang sudah ada, konvergensi dari berbagai produk, atau memproduksi barang dari produk yang sudah ada tanpa mengalami perubahan? Menurut Al Ries yang memungkinkan kita bisa besar jika kita bisa menemukan kategori baru yang merupakan divergensi dari produk yang sudah ada.
Produk divergensi akan menciptakan pasar baru. Sangat berbeda dengan produk konvergensi maupun produk lama tanpa inovasi yang datang dengan memasuki pasar yang sudah ada.
Keunggulan dari hasil produk divergensi, mampu menciptakan pasar sendiri tanpa harus berjibaku dipasar yang sudah banyak pemainnya. Dengan memiliki pasar tersendiri akan memungkinkan untuk mendapatkan pelanggan loyal untuk terus menjadi fanatik terhadap pruduk yang dijualnya. Sehingga memudahkan untuk membentuk kelas tersendiri, misalnya hanya bermain pada segmen high Class saja. Meskipun sangat mungkin juga bermain disegala segmen.
Apple yang mampu membuat kategori baru yang merupakan divergensi dari handphone, dengan memproduksi smartphone, yang tidak hanya berfungsi sebagai alat komunikasi, tetapi juga multi fungsi, memenuhi setiap kebutuhan pemegangnya dalam satu genggangam. Apple memilih segmen high class dan konsisten pada segmen pasarnya, tidak pernah tergoda untuk memasuki segmen yang lain meskipun pasarnya cukup terbuka luas sekali.
Apple dengan hanya fokus pada satu segmen mampu menjadikan produknya sebagai produk paling laris dipapan atas di seluruh dunia. Setiap kali Apple meluncurkan produk baru, kalangan “berduit” selalu berbondong-bondong untuk medapatkannya yang paling awal. Pelanggan Apple tidak pernah mempermasalahkan berapa harga smarphone di jual. Tidak pernah membandingkan harganya dengan produk dari perusahaan lain. Mereka memilih Apple bukan saja karena kecanggihan produknya, melainkan “status” nya yang didapatkan dari memegang produk Apple.
Orang kaya tidak selalu memakai Apple, tetapi orang yang memakai Apple sudah dapat dipastikan bahwa mereka orang kaya.
Konsistensi Apple menjadikan Apple Inc. Sebagai perusahaan pemegang brand dengan nilai paling tinggi –tiga tahun berturut-turut- sebagai top brand global setara dengan USD $170,276 billion dan sebagai perusahaan peraih keuntungan terbesar mengalahkan perusahaan-perusahaan raksasa lainnya. Pada tahun 2015 Apple mampu membukukan keuntungan sebesar USD $39,510 billion.
Pesaing terdekat Apple adalah Samsung, perusahaan asal Korea Selatan yang juga memproduksi smartphone. Tetapi Samsung tidak hanya bermain di segmen atas saja, melainkan bermain di semua segmen, yang paling bawah, menengah, dan atas.
Nilai brand Samsung sebesar USD $45,297 billion, tidak mengalami perusahaan dibandingkan tahun lalu (0%).
Belajar dari case Apple yang konsisten bermain dan fokus pada segmen tertentu saja adalah pelajaran yang paling berharga untuk kita semua. Dengan positioning yang jelas memudahkan perusahaan untuk menciptakan pasar tersendiri. Sehingga bisa melahirkan emosi tersendiri bagi konsumennya setiap kali meluncurkan produk baru. Konsumen yang loyal memiliki arti penting bagi perusahaan mengalahkan segalanya.